Sabtu, 07 Mei 2016

Lontara Sukkuna Wajo (Suntingan Teks Kerajaan Wajo Sulawesi Selatan)

Naskah klasik termasuk benda cagar budaya yang harus dilindungi, sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1992 pasal 1 tentang Benda Cagar Budaya
(BCB) yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun. Naskah adalah
salah satu bentuk peninggalan tertulis kebudayaan masa silam, dokumen yang
menarik untuk diteliti. Ia sebagai dokumen merekam secara tertulis kegiatan
masa lampau yang merupakan manifestasi dan refleksi kehidupan masyarakatnya,
jembatan yang menghubungkan generasi masa lalu, masa sekarang, dan masa

yang akan datang. Naskah klasik dapat memberi sumbangan besar bagi studi suatu
kelompok sosial budaya yang melahirkan naskah-naskah klasik. Ia merupakan
dokumen yang mengandung pikiran, perasaan, dan pengetahuan dari kelompok
sosial budaya masyarakat pendukungnya. Naskah dapat menjadi bahan studi suatu
bangsa atau suatu masyarakat, ia dapat memberikan kesaksian yang dapat berbicara
langsung kepada kita melalui bahasa yang tertuang di dalamnya. Lahirnya naskah
klasik di suatu daerah kelompok masyarakat tertentu sangat erat kaitannya kepada
kecakapan baca-tulis serta kemajuan peradaban masyarakat pendukungnya pada
masa lampau.
Masuknya Islam di Sulawesi Selatan sangat berperan dalam
menumbuhkan tradisi tulis, terutama orang Melayu sangat berjasa dalam
penulisan naskah-naskah di daerah ini. Sejak kedatangan orang Melayu di
Sulawesi Selatan (tahun 1490 sudah ada perkampungan Melayu di Siang,
Pangkajene Kepulauan) peranannya bukan saja dalam perdagangan dan
penyebaran agama Islam, tetapi juga dalam sosial budaya dan bahkan dalam
birokrasi. Karena besarnya peranan orang Melayu di kerajaan Gowa, maka
Raja Gowa ke-9, Daeng Matanre Karaeng Manguntungi Tu mapa'risi Kallonna
(1512-1546) mendirikan sebuah mesjid untuk orang Melayu di kampung
Mangallekana, dekat istana kerajaan Gowa, Somba Opu. Di zaman Raja Gowa
ke-10, Karaeng Lakiung Tunipallangga Ulawesng (1546-1565), seorang
keturunan Melayu bernama I Daeng Ri Mangallekana diangkat sebagai
syahbandar kerajaan Gowa ke-2 (syah-bandar pertama Daeng Pamatte). Sejak
itu, secara turun temurun jabatan syahbandar berturut-turut dipegang oleh
orang Melayu sampai dikalahkannya kerajaan Gowa oleh Belanda yang
melahirkan perjanjian Bongaya pada tahun 1667, dan yang menjadi
syahbandar terakhir waktu itu ialah Ince Husain. Jabatan penting lainnya yang
diberikan kepada orang Melayu ialah juru tulis istana, dan Ince Amin adalah
juru tulis terakhir pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin, Raja Gowa ke-
14 (1653-1669). Ia telah meninggalkan sebuah hasil karya indah yang berjudul
Syair Perang Makassar.
Diperkirakan sejak abad ke-14 sampai menjelang akhir abad ke-17,
naskah lontara adalah milik kepustakaan tradisional besar. Beragam naskah
tersimpan di istana dan rumah-rumah bangsawan serta pembesar kerajaan di
pusat-pusat kekuasaan tradisional. Lontara kotika (astrologi) umpamanya,
tidak hanya memuat ramalan tentang hari-hari baik dan buruk melakukan
2
suatu aktivitas, melainkan juga membicarakan tentang pallaong ruma
(pertanian). Lontara seperti ini sangat penting artinya, karena dalam
tatanan perekonomian negara waktu yang sangat dinamis penggunaannya
terutama untuk menentukan dimulainya turun sawah dalam tradisi agraris
atau pemberangkatan armada perang dan perahu-perahu dagang tradisi
maritim.
Naskah di Sulawesi Selatan masih banyak tersebar di masyarakat, dan sangat
memperhatinkan. Oleh karena itu, dirasa perlu perlu menyelamatkan naskah-naskah
tersebut, dengan cara membuat suntingan naskah yang masih tersimpan di
masyarakat, sehingga dapat dibaca isinya oleh masyarakat luas. Lontara Sukkuna
Wajo adalah salah satu naskah di Sulawesi Selatan yang perlu diselamatkan dengan
cara membuat edisinya, kemudian dianalisis.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini difokuskan pada
naskah Lontara Sukkuna Wajo, milik Kerajaan Wajo. Untuk menfokuskan penelitian
ini, diperlukan rumusan masalah sebagai berikut: a). Bagaimana deskripsi naskah
Lontara Sukkuna Wajo; dan b). Bagaimana isi naskah Lontara Sukkuna Wajo.
Penelitian ini membuat suntingan teks Lontara Sukkuna Wajo Oleh karena itu,
penelitian ini bertujuan: a). Mendeskripsi naskah Lontara Sukkuna Wajo; dan b).
Menganalisis Lontara Sukkuna Wajo. Adapun hasil Penelitian ini diharapkan berguna
bagi berbagai pihak, dan dapat memperkaya khazanah budaya lokal khususnya yang
berkaitan dengan naskah klasik keagamaan. Hasil penelitian ini dapat menjadi data
base naskah keagamaan bagi Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, dan
diharapkan menambah edisi naskah yang dihasilkan oleh Puslektur Keagamaan,
sebaai pusat informasi naskah keagamaan, yang dapat menyediakan kepada
peminat atau peneliti naskah.
Sumber dan Perolehan data dari penelitian ini adalah naskah milik Datu
Sangaji, putra Ranreng Bettempola Andi Makkaraka, tinggal di Saoraja Sengkang,
Kabupaten Wajo.Tidak disebut penulisnya, bahasa Bugis dan Arab, aksara lontara
dan Serang (bahasa Bugis Makassar aksara Arab), tebalnya 485 halaman, ukuran 35
x 25 cm, 38 baris perhalaman, kertas Eropa, Terdiri atas 22 jilid, rata-rata satu
jilid 23 halaman. Telah dimikrofilm oleh Penelitian Naskah Universitas Hasanuddin
Makassar dengan Kode: No.1/MKH/6/Unhas/UP. Rol 73, Nomor 1-22. Penelitian ini
hanya membuat suntingan teks jilid 1 dan 2. Adapun metode yang digunakan
adalah filologi dan sejarah. Filologi digunakan untuk mendeskripsikan naskah dan
teks, dan sejarah digunakan untuk mengetahui kaitan isi nasakah dengan sejarah
perkembangan Kerajaan Wajo dan hubungannya dengan Islam.
Lontara Sukkuna Wajo (LSW), berbahasa Bugis dan Arab, aksara lontara dan
Serang (bahasa Bugis Makassar aksara Arab), tebalnya 485 halaman, ukuran 35 x 24
cm, 38 baris perhalaman, kertas Eropa. Terdiri atas 21, dan yang ditransliterasi dan
terjemahan hanya dua jilid (48 halaman).
Berbeda dari kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan, raja pertama Wajo
tidak berdasarkan To Manurung (orang yang tidak diketahui asalnya), sehingga
tidak memiliki arajang (regelia). Dalam LSW diceritakan mulai terbentuknya
Kerajaan Wajo dengan munculnya Puangngè ri Lampulungeng dan Puangngè ri
Timpengeng, kemudian muncul daerah yang disebut Cinnotabi yang dipimpin oleh
La Paukke. Dari Cinnotabi menjadi kerajaan Wajo. LSW selalu diperbaharui penulisannya, dan dibentuk tim tersendiri untuk menulis ulang LSW ditambah
rujukan dari beberapa lontara, baik dari Wajo maupun drai luar Wajo.
Dalam LSW terdapat informasi tentang hubungan kerajaan yang ada di
Sulawesi Selatan, seperti Luwu, Bone, Gowa. Dan menceritakan peristiwa sejarah
yang terjadi bukan saja di Wajo, tetapi di kerajaan lainnya. Pada halaman terakhir
dicertakan peristiwa yang terjadi di Bone yang dinamai rumpana’ Bone , yaitu
kekalahan Bone dari Belanda, dan awal penjajahan Belanda terhadap orang Bugis.
Selain itu, diperoleh informasi tentang Kedatangan Islam, terbentuknya institusi
sara’ yang dibentuk oleh Dato Patimang. Dato Patimang diangkat menjadi kadi
pertama di Wajo. Kemudian Dato Patimang ditugaskan oleh Raja Gowa ke Luwu
untuk mengajarkan Islam. Selanjutnya, kerajaan Wajo meminta pengganti Dato
Patimang mengajar di Wajo, Dato ri Bandang. Dalam lontara disebutkan tanggal
dan tahun masuknya Islam Arung Matowa (Raja) Wajo. Beberapa informasi tentang
Islam terdapat dalam Lontara Sukkuna Wajo, seperti kedatangan beberapa ulama
seperti ulama yang bergelar Imam Syafii yang membewa Tarekat Syaziliyah, dan
seorang ulama yang bernama Umar didatangkan oleh kerajaan Wajo untuk

mengajarkan Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar